Oleh: S Rangkuti
(Mahasiswa Fakutas Hukum Universitas Asahan)
Kebijakan perihal iuran jaminan kesehatan atau yang lebih dikenal dengan iuran BPJS Kesehatan secara resmi telah ditetapkan naik oleh Pemerintah melalui diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kenaikan iuran BPJS tersebut menuai polemik dimasyarakat. Hal ini disebabkan kenaikan iuran BPJS yang dinilai memberatkan.
Seperti pada PBI (Penerima Bantuan Iuran) pada pasal 29 Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan iurannya senilai Rp. 23.000 dinaikkan menjadi senilai Rp. 42.000 berdasarkan Perpres 75/2019 Perubahan terhadap Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dan beberapa iuran lainnya yang dinaikkan secara signifikan.
Ada apa dengan Pemerintah saat ini yang dinakhodai Presiden Joko Widodo diperiode kedua 2019-2024 sehingga sanggup bahkan tega menaikkan ditengah kondisi perekonomian negara dan rakyat yang "sedang tidak baik-baik saja".
Melihat itu juga, yang patut dipertanyakan dimana peranan Pemerintah dalam mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dimuat dalam Pasal 34 Ayat (3) berbunyi: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dan beberapa pasal lainnya seperti di Pasal 28 H UUD 1945. Sejauh mana peran dan tanggungjawab serta implementasi Pemerintah memberikan jaminan berdasarkan amanat konstitusi diatas.
Apabila dilihat dari kebijakan kenaikan tersebut, secara tidak langsung mencoba "lepas tangan" dengan membebankan sebagiannya kepada masyarakat. Seharusnya Pemerintah menanggungjawabi semuanya tanpa terkecuali. Setelah itu timbul lagi permasalahan dari kebijakan tersebut.
Sejauh mana pelayanan dan fasilitas yang diberikan Pemerintah melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pasca masyarakat membayar iuran jaminan kesehatan. Kemudian, bagaimana peranan dan solusi Pemerintah bagi masyarakat yang tidak mampu untuk membayar iuran tersebut? Itu harus segera dijawab Pemerintah.
Secara eksplisit, BPJS tampaknya menjadi perusahaan asuransi "Plat Merah". Penulis melihat, tidak jauh perbedaannya dengan perusahaan asuransi pada umumnya. Misalnya, pada perusahaan asuransi umumnya iurannya disebut premi yng dibayar perbulan dengan plihan atau "paket" sesuai keinginan pihak yang memasang asuransi, hal ini tidak jauh berbeda dengan BPJS.
Maka dari itu, penulis berharap Pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut dan mengevaluasi kebijakan serta untuk tidak terburu-buru menggulirkan kebijakan kedepannya. Dan untuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) sebagai representatif atau perwakilan rakyat untuk berpihak kepada rakyat sehingga mendesak Pemerintah mencabut, serta membatalkan kebijakan menaikkan Iuran Jaminan Kesehatan yang telah dikeluarkan karena menambah beban hidup rakyat yang terus dibohongi dengan "janji-janji" kampanye. "Karena kalau gak janji gak menang".
Oleh: S Rangkuti
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Asahan