Image: tribunnews.com |
Isi keputusan tersebut, selain turut membubarkan PKI dan organisasi sayapnya mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa, juga memutuskan membubarkan organisasi di Indonesia yang berasaskan Komunis. Lanjutan petikan Keppres tersebut, menyatakan PKI dan organisasi berasaskan Komunis sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Sehari sebelumnya, pada 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang berisi perintah kepada Soeharto untuk mengambil kebijakan pengamanan dan kondusivitas Indonesia pasca peristiwa pembantaian tujuh Perwira Tinggi Militer pada 30 September 1965 yang disusul gejolak konflik di masyarakat akar rumput hingga berbulan-bulan lamanya.
Namun, isi lengkap dan mendetail dari Supersemar masih simpang siur. Soeharto sendiri mendefenisikan Supersemar sebagai surat pengalihan kekuasaan kepala negara kepada dirinya.
MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007) menulis, Demokrasi Terpimpin Soekarno mulai runtuh pada Oktober 1965.
"Pada 2 Oktober, Soeharto mengakui perintah dari Soekarno untuk mengambil sendiri komando tentara", tulis Ricklefs.
Sebab, Soeharto lah yang diberi kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban dan keamanan.
Keputusan Soeharto ini beralaskan hasil pemeriksaan dan putusan Mahkamah Militer Luar Biasa atas keterlibatan tokoh-tokoh PKI dalam peritiwa pembunuhan tujuh Jendral. Keputusan Soeharto kemudian dikuatkan oleh Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966.
Mahatma Gandhi Melakukan Aksi Panen Garam Massal
Beralih ke sejarah dunia, 90 tahun yang silam, tepatnya pada 12 Maret 1930, Mahatma Gandhi melakukan aksi panen garam massal di Kota Dandi, di pesisir Laut Arab.
Aksi panen garam massal tersebut dilakukan Gandhi untuk melawan monopoli perdagangan garam oleh Kolonial Inggris di tanah Hindustan. Sebelumnya, pemerintah Kolonial Inggris mengeluarkan peraturan yang melarang bangsa India mengumpulkan, membuat, dan menjual garam. Padahal, garam merupakan nutrisi penting bagi kehidupan masyarakat India. Bangsa India yang membutuhkan garam, hanya diperbolehkan membeli dengan dikenai pajak dengan harga yang sangat tinggi.
Mohandas K Gandhi yang dijuluki sebutan "Bapu" yang berarti Ayah, memulai aksinya dengan berjalan sejauh hampir 400 Kilometer dari kediamannya Sabarmati Ashram menuju Kota Dandi. Di tiap persimpangan jalan, aksi longmarch Gandhi semakin bertambah dan menyemut karena juga diikuti oleh masyarakat India.
Dalam salah satu film biografi Gandhi (1982) dikisahkan, aksi panen garam massal ini sebagai hadiah atas kunjungan temannya seorang wartawan berkulit putih. Teman wartawannya ini dianggap berjasa karena meliput dan menulis berita tentang aksi perlawanan Gandhi menentang diskriminasi oleh Kolonial Inggris di Afrika Selatan. Ketika itu Gandhi sebagai pengacara yang berkunjung ke Afrika Selatan. Gandhi tidak mau temannya yang datang dari jauh tapi pulang tanpa membawa berita apa-apa.
Sebelum memulai membuat garam, Gandhi membacakan pidato dan berdoa di depan puluhan ribu masyarakat India. Lalu aksi membuat garam ini dilakukan seluruh masyarakat dan Anggota Kongres Kemerdekaan India dan menjualnya di pesisir pantai.
Dianggap dapat melemahkan perekonomian, pasukan kolonial diperintahkan membubarkan aksi, namun Gandhi meminta masyarakat dan anggota kongres tidak melakukan perlawanan terhadap pasukan kolonial, kecuali tetap membuat garam dan menjualnya. Hingga pasukan kolonial melakukan kekerasan, dan memukuli masyarakat India dan anggota kongres tanpa perlawanan.
Setelah aksi tersebut, Gandhi dan pengikutnya serta anggota kongres ditangkap pasukan kolonial Inggris. Penangkapan tersebut memicu aksi-aksi yang sama persis oleh masyarakat India. Mengusir pendudukan Kolonial Inggris dari India tanpa melakukan kekerasan. Yang terus dibantu teman wartawan Gandhi dengan mengirimkan berita.
Hingga akhirnya India mendapatkan hak kemerdekaan sebagai sebuah negara pada 15 Agustus 1947 yang disusul pemisahan Pakistan di hari yang sama karena adanya perbedaan pandangan antara anggota kongres.